Pihak Baim Wong Sebut Saksi di Sidang Ungkap Kejadian Luar Biasa tentang Paula Verhoeven, Apa Itu?
Sejarah Judi Legal di Indonesia
Jumat, 23 April 2010 - 10:38 WIB
VIVAnews - Kebijakan pemerintah 'mengharamkan' judi mulai diutak-atik. Dikawal pengacara Farhat Abbas, seorang pedagang sayur, Suyud dan Liem Dat Kui, mengajukan judicial review untuk melegalkan judi.Suyud merupakan pedagang yang pernah ditangkap dalam kasus judi, dengan barang bukti Rp 58.000. Ia ditahan selama 4 bulan 1 minggu. Suyud terjerat pasal yang kini digugatnya.
Sedangkan Mr Liem Dat Kui warga Tionghoa yang terdaftar sebagai warga Negara Indonesia punya alasan lain. Liem Dat Kui menilai judi adalah bagian dari tradisi.Farhat, sang pengacara meminta MK mengabulkan permohonan kliennya (pemohon) dengan menguji pasal 303 ayat (1), (2), dan (3), pasal 303 ayat (1), (2) KUHP dan pasal 1, pasal 2, pasal 3, pasal 4, pasal 5 UU No.7 tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian yang dinilainya membatasi hak asasi manusia. Pengajuan judicial review dilakukan Rabu 21 April 2010 lalu ke Mahkamah Konstitusi.Sebetulnya, meski kontroversial dan memicu polemik, judi legal pernah diberlakukan di Indonesia. Pada zaman Propinsi Jakarta dipimpin Ali Sadikin, judi untuk menyokong pembangunan pernah dilegalkan. Ali Sadikin yang menjadi gubernur DKI Jakarta selama 11 tahun (1966-1977) saat itu menyadari uang panas judi bisa dihimpun untuk berbuat hal positif. Pria yang akrab disapa Bang Ali ini pun memutuskan melegalisasi perjudian. Maka diresmikankan sebuah kasino yang didanai pengusaha Apyang dan Yo Putshong.
Hasilnya tak sia-sia. Anggaran pembangunan DKI yang semula cuma Rp 66 juta melonjak tajam hingga lebih Rp 89 miliar dalam tempo sepuluh tahun. Artinya rata-rata per tahun sekitar Rp 890 juta, melonjak lebih dari 1000 persen. Bang Ali pun membangun sekolah, puskesmas, pasar. Jakarta juga dibenahi menjadi lebih kinclong.Penelusuran VIVAnews, tak hanya membangun kasino, zaman Bang Ali juga ada lotre yang diberi nama Toto dan Nalo (Nasional Lotre). Lotre terus berkembang hingga zaman Orde Baru. Misalnya, untuk menghimpun dana penyelenggaraan PON VII di Surabaya pada 1969, Pemda Surabaya menerbitkan Lotto alias Lotres Totalisator. Kemudian muncul juga Toto KONI yang dihapus tahun 1974. Namun upaya melegalkan judi terus dipikirkan. Tahun 1976 Depsos melakukan studi banding ke Inggris untuk menerbitkan forecast yang dinilai tidak menimbulkan ekses judi karena sifatnya hanya tebak-tebakan. Namun dengan memperhitungkan segala dampak, termasuk untung ruginya, forecast baru bisa dilaksanakan tujuh tahun kemudian.Pada Desember 1985, Kupon Berhadiah Porkas Sepak Bola diresmikan, diedarkan, dan dijual. Waktu itu tujuan Porkas menghimpun dana masyarakat untuk menunjang pembinaan dan pengembangan prestasi olahraga Indonesia. Porkas lahir berdasarkan UU No 22 Tahun 1954 tentang Undian. Porkas beredar sampai tingkat kabupaten dan anak-anak di bawah usia 17 tahun dilarang menjual, mengedarkan, serta membelinya. Akhir 1987, Porkas berubah nama menjadi Kupon Sumbangan Olahraga Berhadiah (KSOB) dan bersifat lebih realistis. Namun dengan alasan menimbulkan dampak negatif karena banyaknya dana masyarakat desa yang tersedot, maka tahun 1989 penjualan kupon ini dihentikan.Saat yang bersamaan muncullah permainan baru yang dinamakan Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah (SDSB). Namun tahun 1993, pemerintah mencabut izin penyelenggaraan SDSB. (hs)
Digandrungi Semua Kalangan
Pade juga menceritakan betapa tenarnya SDSB saat itu. Menurut dia, hampir semua tongkrongan warga, SDSB adalah hal yang dibicarakan. Meski tak pernah merasakan menang, namun Pade menyukai keramaian dari judi legal tersebut.
"Cuma senang ngobrolnya yang gak logisnya itu, karena candu banget waktu itu. Kenapa candu, mulai tukang becak, sopir angkot kalangan bawah lah, bahkan anak sekolah SMA ya banyak yang main," jelasnya.
Dia mengungkapkan, saat tenar dulu, membicarakan judi SDSB di tempat umum bukan hal yang tabu. Sebab, semua warga sudah tahu jika itu merupakan program pemerintah.
"Gak malu ngomongin itu (judi), dimanapun bisa karena ya emang legal kan," ujarnya.
Hal menarik lainnya yang masih diingat Pade adalah ketika hasil undian SDSB diumumkan. Saat itu kata dia, pengumuman dilakukan melalui siaran radio di malam hari.
Sebelum diumumkan, warga lebih dulu membeli kupon dan menyetor angka kepada agen di siang hari. Baru malamnya, diumumkan berapa angka yang keluar.
"Prosesnya itu dulu kita masang kasih nomor ke agen, beli kupon. Nanti tinggal nunggu pengumuman dari Jakarta, itu diumumkan lewat radio waktu itu," kata Pade.
Jelang pengumuman, biasanya warga akan berkumpul di satu tempat. Di situlah keramaian dan kebersamaan warga terbangun menanti siapa yang bakal meraih keberuntungan dari SDSB.
"Malam biasanya, jam 11-an kalau gak salah. Biasanya sebelum pengumuman pada ngumpul di pos kamling kaya nonton bola, ditunggu itu," pungkas Pade.
MEDIAWARTA.COM, SINGAPURA – Selain prostitusi legal seperti yang terdapat di red district atau distrik merah Geylang, Singapura juga melegalkan judi. Kendati demikian, prostitusi maupun judi diawasi dengan kontrol yang sangat ketat pemerintah di sana.
Sudah menjadi rahasia umum jika judi merupakan salah satu aset terbesar yang menyumbang pendapatan bagi Singapura, meskipun ini pernah dibantah pemerintah Negeri Patung Merlion.
Di beberapa wilayah, banyak kasino yang dibangun secara elite dan megah. Ini memang serupa daerah Genting di Malaysia. Beberapa kasino bahkan dipadukan sarana publik, seperti pusat perbelanjaan, hotel, convention, restoran, pusat penjualan suvenir, arena pameran, bioskop, dan lain-lain.
Kasino yang paling sohor, di antaranya Marina Bay Sands (MBS) dan Resort World Sentosa (RWS), sehingga bukan hal asing jika banyak pengunjung dari berbagai negara bertandang ke Singapura. Tujuannya, untuk berwisata sekaligus merasakan sensasi berjudi di kasino mewah.
Dalam kesempatan ke Singapura, MediaWarta.com berusaha menelusuri beberapa pusat perjudian yang dilegalkan pemerintah, terutama judi tebak nomor atau lazim disebut Toto. Toto yang lebih dikenal sebagai Toto Gelap (Togel) di Indonesia, merupakan salah satu jenis judi yang sangat populer di kalangan warga Singapura selain kasino dan pacuan kuda.
Tidak hanya di Singapura, Toto asal Singapura juga cukup dikenal negara-negara lain di luar Singapura. Apalagi, bagi penikmat judi online, pasti sudah sering mendengar ataupun bermain judi ala Singapura ini.
Toto di Singapura diproyeksi berasal dari Kota Kedah Malaysia, dan telah ada sejak 1951. Semasa itu, hadiahnya berupa sepeda dengan pembelian sekali pasang angka sebesar satu dolar Singapura. Permainannya masih sederhana, disebut 2D, yaitu menebak dua digit angka yang keluar.
Selanjutnya, pada 1966 permainan 4D dirilis pertama kali perusahaan The Singapore Turf Club. Hadiahnya, dua ribu dolar Singapura dengan harga satu pemasangan angka hanya satu dolar Singapura.
Dalam perkembangannya, pada 1968 perusahaan The Singapore Turf Club diambil alih pemerintah dan berganti wadah menjadi Singapore Pools. Singapore Pools merupakan satu-satunya penyelenggara judi yang sah dan diakui secara hukum pemerintah Singapura.
Perusahaan ini didirikan untuk melokalisasi judi Toto agar lebih terkontrol dan memberantas judi ilegal yang saat itu tengah marak dalam masyarakat Singapura. Dengan hadirnya judi Toto legal ini, maka pemerintah berharap dapat mendongkrak income negara.
Saat ini, Toto merambah mal-mal ternama di Singapura. Dari pantauan MediaWarta.com (secara candid karena tidak diperbolehkan memotret) di Bugis Junction, Bugis Street, Sabtu (2/4/2016), salah satu gerai yang menawarkan Toto dipenuhi warga yang ingin mengadu nasib pada tebakan di sejumlah kupon.
Peminatnya tidak hanya pria, tetapi juga banyak wanita, bahkan ibu rumah tangga. Namun seperti sebelumnya, pemerintah Singapura sangat ketat mengawasi perjudian ini. Sehingga, hanya dapat dimainkan warga yang telah berusia 18 tahun ke atas. Tentunya, dengan menunjukkan kartu tanda penduduk (KTP).
Effendy Wongso/Foto: Effendy Wongso
Mulai dari Pecinan Glodok
Tempat judi yang pertama kali dilegalkan oleh Ali Sadikin adalah di Pecinan Glodok. Kawasan itu sudah menjadi pusat perekonomian Jakarta sejak zaman Belanda.
Salah satu alasan menempatkan pusat judi di area itu karena kebijakan kontroversial melegalkan perjudian itu dilaksanakan dengan aturan yang ketat.
Ya, dalam Surat Keputusan Gubernur KDKI Jakarta No. 805/A/k/BKD/1967 yang diterbitkan pada tanggal 21 September 1967 disebutkan salah satu poinnya membentuk tim pengawas lokalisasi perjudian itu. Tugas-tugas tim pengawasan itu melingkupi pencegahan terhadap segala bentuk penyalahgunaan kebijakan lokalisasi perjudian, melindungi masyarakat dari akibat-akibat negatif, serta mengadakan seleksi terhadap para pengunjung.
Asep mengatakan Pecinan menjadi sentra kawasan perjudian bukan dimunculkan pada era kepemimpinan Ali Sadikin. Tetapi, area itu sudah sohor sebagai lokalisasi sejak zaman Belanda. Bahkan, dijuluki Las Vegas-nya Batavia.
"Jadi Pecinan itu mencakup Glodok, Mangga Besar, dan sekitarnya itu adalah kawasan yang dikenal sejak zaman penjajahan Belanda dan kawasan itu memang menjadi kawasan yang misalnya kita ada dulu ada namanya Jilakeng itu di sekitar Asemka-Glodok gitu ya itu di Kali Krukut kalau tidak salah. Jilakeng itu adalah Las Vegas-nya Batavia di zaman itu. Jadi, memang saat kebijakan itu oleh Ali Sadikin dilakukan memang mau tidak mau suka-tidak suka ya lokasinya di sana," kata Asep.
Ia pun menambahkan selain wilayah tersebut, kawasan Kota Tua juga menjadi satu dari beberapa wilayah yang memiliki tempat perjudian dan prostitusi kala itu. Dari hasil identifikasinya, di Kota Tua banyak tersimpan bangunan-bangunan tua juga kosong peninggalan Belanda dan ternyata di dalam bangunan kosong itu juga banyak terdapat aktivitas perjudian.
"Bahkan sampai Kota Tua. Ya, jadi di Kota Tua itu banyak gedung-gedung Belanda yang dianggap kosong padahal itu menjadi tempat bola tangkas, judi, dan lain sebagainya berbagai jenis kejadian terjadi di sana," ujar Asep.
Asep juga menyebut salah satu bangunan di Kota Tua yang dulu pernah dijadikan pusat permainan judi. Itu berdasarkan hasil wawancara dengan warga di sekitar sekitar bangunan tersebut.
"Saya kira Toko Merah salah satunya jadi itu menyebar dan tidak ada yang tahu pasti kecuali mereka yang pernah berjudi di masa itu. Jadi saya sendiri tahu karena dari warga lokal, kemudian pemulung yang bekerja atau yang menginap di gedung-gedung terbengkalai itu, gedung tua itu, dan warga lokal," ujar dia.
Memang kala judi dilegalkan oleh Ali Sadikin tempatnya tak boleh terang-terangan menggelar aktivitas tersebut, seperti di kawasan Glodok. Menurut beberapa warga di sana terdapat beberapa titik yang pernah dijadikan tempat untuk berjudi, mulai dari bangunan di dalam gang hingga kini menjadi ikon kawasan tersebut.
"Menyebar jadi mereka kan terselubung meskipun dilegalkan di masa itu, kebanyakan mereka berkamuflase sebagai restoran, sebagai hotel, dan itu menyatu jadi hotel, restoran, tempat, judi, dan prostitusi itu di situ dalam satu tempat," kata dia.
Berita Jepang | Japanesestation.com
Salah satu sektor bisnis yang terdampak pandemi virus corona adalah bisnis pachinko. Dengan diumumkannya status keadaan darurat Jepang pada 7 April lalu, kebanyakan tempat (parlour) pachinko yang tidak dapat melakukan social distancing terpaksa menutup usaha mereka hingga kebijakan lockdown dicabut. Namun, beberapa parlour di Kansai menolak untuk menutup bisnis mereka karena menurut mereka, hal itu akan membuat mereka bangkrut.
Untuk menolong bisnis kecil seperti pachinko dari kebangkrutan, Pemerintah Metropolitan Tokyo menawarkan dana sebesar 1 juta yen dengan permintaan agar para pemilik menutup bisnis mereka. Namun, beberapa operator malah menghabiskan dana lebih dari 1 juta yen hanya untuk menyewa tempat saja, membuatnya sulit membayangkan apakah dana tersebut bisa membantu bisnis mereka.
Meskipun begitu, pachinko sebenarnya bisnis yang menguntungkan. Hampir semua waktu luang orang-orang dimanfaatkan untuk bermain di pachinko, bahkan 1 dari 11 orang bisa bermain setiap satu minggu sekali. Karena itu, jika terus dibuka, bisnis ini bisa meraup dana sebesar 200 miliar dolar per tahunnya, setara dengan 4% PDB (produk domestik bruto) tahunan Jepang. Jumlah ini bahkan 30 kali lebih banyak dari yang diraup Las Vegas setiap tahunnya dan 2 kali lebih banyak dari industri ekspor mobil Jepang. Hebat kan?
Nah, apa sih yang membuat bisnis ini begitu menarik perhatian? Donald Richie, seorang peneliti budaya Jepang, mendeskripsikan pachinko sebagai ‘cut-rate Zen’. Kehidupan pekerja di Jepang bisa terasa sangat berat, membuat orang-orang ingin lari dari kenyataan. Di sinilah pachinko berperan sebagai tempat melepas stres dari tempat kerjanya. Di balik bunyi ribuan bola perak yang berkelap-kelip, orang-orang ini merasa mereka menemukan “sesuatu” yang tidak bisa ditemukan di tempat lain.
Awalnya, pachinko terinspirasi dari pinball ‘bagatelle’ asal Amerika yang hadir di Jepang pada tahun 1920-am. Mesin ini kemudian dipasang di beberapa toko kue yang membuatnya disebut ‘pachi pachi’ yang berasal dari bunyi berdenting bola.
Pada tahun 1930-an, papan dan poster mulai digunakan untuk promosi, membuat banyak orang dewasa mulai memainkannya. Namun, pachinko mulai benar-benar populer sebagai sarana hiburan setelah Perang Dunia II. Pada tahun 1980-an, bisnis ini mulai merambah ke techno-futuristic dengan memperkenalkan game elektronik. Mulai dari sini, parlor lebih ramai dan lebih berwarna-warni, sangat sempurna untuk dikunjungi untuk satu hingga 2 jam sebelum pulang ke rumah dalam perjalanan pulang.
Bagaimana sih sebenarnya cara memainkannya? Mudah, sebenarnya tidak perlu memiliki skill tertentu dalam memainkan pachinko. Sama seperti pinball, gerak bola tergantung seberapa kuat kamu menarik pelatuknya. Namun, pachinko itu gambling, semua tergantung keberuntunganmu. Masukkan bolanya ke dalam lubang dan kamu akan mendapat lebih banyak bola. Biasanya, 125 bola itu dihargai 500 yen, jadi setiap bola memiliki harga sekitar 4 yen.
Secara teori, gambling atau judi itu ilegal di Jepag, namun pachinko parlour punya cara sendiri agar tidak melanggar hukum. Saat tengah malam, kamu memasukkan bolamu ke sebuah mesin yang memberimu sebuah tiket. Setelah itu, pergilah ke toko khusus di sudutnya, di mana kamu menukar tiket tersebut dengan uang tunai.
Mungkin saja tidak diperlukannya skill sama sekali yang membuat pachinko sangat menggoda. Menurut sebuah penelitian yang diadakan pada tahun 1991, ditemukan bahwa 29% pemain berpikir kalau mereka mengalami kecanduan pachinko dan 30% menyatakan mereka kerap meminjam uang untuk membuat mereka tetap bisa bermain.
Nah, karena keadaan mulai normal, parlour mulai dibuka kembali yang berarti para maniak pachinko juga kembali. Namun sayangnya, layaknya populasi di Jepang, pachinko juga semakin tua dan jumlah parlour mulai menyusut. Para pemilik parlour juga kesulitan menarik perhatian pemain muda yang lebih tertarik bermain game. Kesimpulannya, ada atau tanpa virus corona, popularitas pachinko memang mulai menyusut.
Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah atau SDSB mungkin asing di telinga orang-orang saat ini. Tapi jangan disangka, istilah ini sempat tenar dan digandrungi masyarakat Indonesia di era 90-an dulu. SDSB adalah sebuah judi lotre yang dilegalkan pemerintah di zaman Soeharto.
Dulu, SDSB ini sangat ngetren baik di kota maupun pelosok desa. Hampir setiap hari, obrolan tentang SDSB ini selalu muncul di tiap kumpulan warga. Hal itu diakui Fajar Hidayat (52), pria asal Buah Batu, Kota Bandung.
Fajar yang kini berprofesi sebagai wartawan media online di Kota Bandung ini mengaku sempat merasakan betapa booming-nya SDSB di tahun 1991-1993 dulu. Waktu itu, Fajar masih duduk di bangku SMA.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Pernah nyobain tapi ngawur yah itu," kata Fajar sembari tertawa saat berbincang dengan detikJabar, Kamis (2/3/2023).
Pria yang akrab disapa Pade ini ingat betul jika SDSB membuat orang berpikir logis dan tak logis. Sebab kata dia, ada orang yang dengan serius menghitung rumus untuk menentukan angka yang kemudian dipasang pada agen SDSB.
"Itu ada yang dibikin logis maksudnya dihitung secara rumus matematika, aku gak ngerti ya soal itu. Pokoknya pakai data pakai rumus gitulah, ada orang yang bisa ngitung," ungkapnya.
Ada juga orang-orang yang berperilaku tidak logis karena SDSB. Menurut Pade, orang-orang mencari nomor dengan duduk di pinggir jalan hingga bermalam di kuburan. Dia sendiri tidak mengerti apa sebenarnya yang dilakukan para penikmat SDSB ini.
"Ada yang gak logis, dulu itu banyak, maksudnya dia duduk di pinggir jalan tiba-tiba lihat (pelat) nomor mobil motor terus pasang, terus nyari wangsit istilahnya ke kuburan kemana gitu ya minta nomor gitu," ucapnya.
Paman dari Pade juga termasuk orang yang begitu menyukai SDSB. Berprofesi sebagai tukang cukur rambut keliling, paman Pade hampir setiap hari membeli kupon dan memasang nomor. Seingat Pade, pamannya sempat menang di program SDSB dengan jumlah yang sangat besar.
"Waktu itu ya bisa berkali-kali lipat dapatnya. Omku itu kalau gak salah dapat besar. Itu yang paling gede di Kota Blora ya, dan itu omku sampai dikenal di Kota Blora karena dapat gede. Katanya tembus tiga angka katanya ya," tutur Pade.
Usai sidang, kuasa hukum Baim, Fahmi Bachmid mengungkap bahwa dua dari beberapa orang saksi itu mengetahui ada kejadian luar biasa yang diduga berkaitan dengan Paula
Sejarah mencatat beberapa tempat di Jakarta menjadi pusat perjudian, termasuk saat dipimpin Gubernur Ali Sadikin. Perjudian dilegalkan, keuntungannya untuk membiayai pembangunan Jakarta.
Pemerhati sejarah Asep Kambali mengatakan kebijakan yang diambil oleh Ali Sadikin, yang memimpin Jakarta pada 1966 hingga 1977, tersebut merupakan upaya untuk meningkatkan pendapatan daerah. Saat Ali Sadikin didapuk sebagai orang nomor satu di Jakarta, APBD yang dimiliki oleh Jakarta hanya sekitar Rp 66 juta rupiah.
Langkah itu diambil bukan tanpa alasan. Keputusan itu didasari banyaknya praktik perjudian dan prostitusi yang terjadi di wilayah Jakarta. Nah, lokalisasi itu untuk menjaga masyarakat umum agar tidak terpapar aktivitas judi di tempat terbuka. Selain itu, dengan adanya tempat-tempat judi legal seperti ini, pemerintah dapat menjaga retribusi kota Jakarta melalui pajak perjudian.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Menyadari bahwa kondisi Jakarta saat itu butuh banyak pembangunan, butuh banyak perbaikan di sana-sini. Sehingga, memang terobosan yang saat itu mungkin dianggap memiliki efek yang signifikan artinya bisa diandalkan secara waktu dan secara guna," kata Asep saat dihubungi detikTravel, Selasa (9/7/2024).
"Jadi tepat waktu, tepat guna, dan artinya lebih mudah dan kondisi saat itu orang lebih banyak bermain kucing-kucingan dengan pemerintah, dengan aparat jadi lebih baik dua hal, prostitusi dan perjudian itu akhirnya di lokalisir ditempatkan di dalam satu tempat khusus yang itu kemudian dikelola secara resmi dan akhirnya menjadi sumber pemasukan yang kita sebut hari ini istilahnya mungkin pendapatan asli daerah atau PAD," Asep menambahkan.
Asep juga menyebut kebijakan yang sarat kontroversi itu terbukti menghasilkan pemasukan 'instan' bagi Jakarta. Uang pajak perjudian dan prostitusi itu dari hasil tersebut digunakan untuk membiayai pembangunan infrastruktur Jakarta.
"Dari judi dan prostitusi itu terbukti kemudian menghasilkan pembangunan berbagai infrastruktur, misalnya Jalan Pramuka, Jalan Pemuda. Itu adalah salah satu contoh hasil dari pembangunan yang uangnya dari judi dan prostitusi itu. Jadi, memang judi dan prostitusi ini tidak bisa dipisahkan karena dua-duanya berkaitan," dia menjelaskan.
Dari berbagai informasi, Kota Jakarta tempo dulu saat dipimpin Ali Sadikin, memiliki beberapa sentra judi yang jadi mesin uang ibu kota, seperti di Pecinan Pancoran-Glodok, Gedung Sarinah lantai 13, Djakarta Theater, Copacabana dan Hailai di Ancol. Bangunan-bangunan tersebut kini sudah beralih fungsi karena setelah Ali Sadikin lengser kebijakan itu juga dihentikan.